Daripada
terus menerus kzl dengan karakteristik rakyat Indonesia yang selalu ikut campur
dengan kehidupan pra pernikahan, hari H pernikahan serta pasca pernikahan
orang-orang sekitarnya, bagaimana kalau kita sejenak merenungi makna pernikahan
dari tayangan drama korea “Because This Is My First Life (2017)”?
Beberapa
orang beranggapan menonton drama korea adalah sesuatu yang useless dan cuma
ngabisin waktu. Tapi bagi beberapa yang
lain, drama korea adalah sesuatu hal berharga yang menambah warna beragam dalam
kehidupan ini, entah sebagai pelarian, entah sebagai self-healing, entah bagai oase untuk padang pasir jiwa-jiwa yang
kesepian, dan hal yang membahagiakan lainnya.
Mari kita mulai
memasuki kehidupan Yoon Ji Ho dan Nam Se
Hee. Ji Ho adalah seorang wanita berprofesi penulis skenario drama televisi
yang harus pindah dari rumah yang ia tinggali dengan adiknya dikarenakan pacar
adiknya yang tengah hamil muda. Sedangkan Se Hee adalah seorang developer aplikasi mobile pencari jodoh (semacam Tinder kalau di Indonesia), yang
tengah mencari teman sharing rumah dikarenakan housemate yang sebelumnya tidak
sesuai dengan kriteria yang ia inginkan (dikarenakan sifat perfeksionis Se
Hee), dengan beberapa kejadian tak terduga yang terjadi, mereka akhirnya
tinggal satu atap di rumah Se Hee. Proses pertemuan kedua orang ini unik dan
lucu, dengan penguatan karakter yang khas ala drama korea, membuat nggak
bosan-bosan melihat pasangan ini.
Setelah
beberapa waktu tinggal bersama, Se Hee secara iseng menanyakan apakah Ji Ho mau
menikah dengannya, meski Se Hee tidak memiliki perasaan apapun pada Ji Ho, Se
Hee telah mempertimbangkan bahwa Ji Ho
merupakan sosok yang tepat untuk menjadi istri karena ia bisa membantunya
melunasi rumah yang ia tinggali (karena setiap bulan Ji Ho membayar uang sewa
pada Se Hee). Se Hee menyadari bahwa pertanyaannya kelewat absurd dan random
serta meminta Ji Ho untuk melupakan permintannya tersebut. Namun tak disangka-sangka,
Ji Ho menerima lamaran tersebut. Selain karena Ji Ho frustasi tidak mempunya
tempat tinggal, Ji Ho juga merasakan baru kali ini ada orang yang
membutuhkannya, setelah sekian lama ia selalu diabaikan oleh orang-orang. Ngenes amat Ji Ho ssi~~
1. Apakah menikah
itu untuk menuntaskan ekspektasi orangtua?
Orangtua Se
Hee mengancam akan bercerai bila Se Hee tak segera menikah mengingat usianya
sudah tidak muda lagi, Se Hee merasa ia hanya perlu menikah untuk mempause omelan orangtuanya dan berencana
untuk bercerai seandainya orangtuanya sudah tenang kembali. Ayah Ji Ho
menyetujui pernikahan, namun tidak dengan Ibu Ji Ho. Jiho Omma merasa ia susah payah membesarkan Ji Ho agar menjadi orang
sukses yang menghasilkan banyak uang, namun Omma-nya kecewa karena Ji Ho
memutuskan untuk menikah saat karirnya belum begitu cemerlang.
Kita tidak
bisa menutup mata bahwa orangtua-lah yang berperan dalam membesarkan dan
membiayai hingga dewasa, namun perlukah orangtua memaksakan kehendak pada anak?
Bukankah anak memiliki kehidupan sendiri yang perlu ia jalani? Bukankah setiap
manusia memiliki kisah berbeda yang tidak akan sama dengan manusia lainnya?
Orangtua Se Hee dan orangtua Ji Ho cukup representatif untuk sedikit mewakili
tipe-tipe orangtua di Indonesia.
2. Bisakah
menikah sehemat dan sesederhana mungkin?
Tak sampai
seminggu sejak Se Hee melontarkan lamaran yang langsung dijawab “mau” oleh Ji
Ho, mereka berdua melakukan pendekatan pada masing-masing orangtua yang
disajikan dengan adegan-adegan kocak nan menggelitik. Mereka berdua
melangsungkan pernikahan yang paling hemat dalam sejarah per-drama korea-an
yang itupun sudah jauh lebih hemat dibanding pernikahan (yang paling hemat
sekalipun) di Indonesia. Gaun nikah dipinjami, undangan digital dan mengundang
tak lebih dari 30 orang, pengantin berangkat ke altar naik bis umum, fotografer
dan penceramah nikah kenalan sendiri, dekor sederhana dan katering sekali duduk
(bukan yang : datang, ambil makan - makan, duduk-berdiri ambil lagi - makan
lagi – repeat).
Bila itu
dilakukan di Indonesia? Opo ra wes dadi
rasan-rasan sak kecamatan luuuur?~
3. Apakah
bisa menikah dengan orang yang tidak kita cintai?
Meski Se
Hee dan Ji Ho sudah resmi menjadi suami istri, hubungan mereka masihlah dingin
seperti penyewa biasa yang tinggal di rumah induk semang. Namun lama-kelamaan mereka berdua mulai
menemukan kenyamanan satu sama lain, mulai muncul kecemburuan dan mulai tumbuh
hasrat untuk ena ena~, tetapi
perasaan itu saling ditepis oleh keduanya mengingat pernikahan mereka adalah
pernikahan kontrak. Setelah berkali-kali
denial terhadap perasannya sendiri,
Ji Ho dan Se Hee mengakui bahwa mereka berdua saling menyukai dan mulai
menjalani hubungan layaknya suami-istri sungguhan meski alur yang disuguhkan
begitu lambat.
Witing trisno jalaran soko kulino, membuka hati untuk seseorang yang
sudah berjuang untuk kita, meski dengan dalih dijodohkan orangtua, meski dengan
alasan terpaksa karena ‘kecelakaan’, atau bahkan karena hanya dia yang mau menikahi,
setidaknya tidak ada kata terlambat untuk mencintai kan? Mashook pak ekoo~
4. Bukankah
pernikahan terjadi karena simbiosis mutualisme?
Se Hee yang
tak lagi terobsesi dengan cinta dan pernikahan karena telah mengetahui betapa
menyakitkan saat sudah sangat mencintai tapi dikhianati, perlahan mulai membuka
hati, tersentuh dengan kepolosan hati Ji Ho yang bahkan belum pernah pacaran
sebelumnya. Permasalahan Se Hee yang
kesulitan untuk melunasi rumahnya dan Ji Ho yang membutuhkan tempat tinggal
teratasi dengan mereka tinggal bersama. Se Hee yang mencoba membunuh rasa
kesepian dengan menjadi workaholic dan
Ji Ho yang tidak pernah menjalani hubungan sebelumnya melebur dalam hubungan
pernikahan yang awalnya sedingin es batu menjadi couple yang kyuptaaa~
Meski
“menikahlah bila kau merasa mendapatkan lebih banyak manfaat daripada kau single” terdengar lebih jujur daripada
“nikahilah seseorang bila kau merasa surga lebih dekat dengannya”, setidaknya
tetap harus pencitraan kan? Heuheu~~
No comments:
Post a Comment